SATU SIANG Maret 2023, puluhan warga berkumpul di Balai Kampung Tanah Tinggi, Distrik Malabotom, Kabupaten Sorong. Di sana sudah hadir perwakilan perusahaan kelapa sawit PT Sorong Global Lestari, Maria C. Kakiailatu dan James Simanungkalit, serta perwakilan pemerintah distrik.
Beberapa saat kemudian, puluhan warga anggota marga Fadan, orang dewasa, anak muda, hingga anak-anak, bergerombol berjalan membawa poster dan spanduk. Isi protes mereka: Kami Keluarga Besar Fadan Menolak Kegiatan Sosialisasi AMDAL Rencana Pembangunan Kebun Sawit dan Pembangunan Pabrik di Atas Tanah Adat Kami Marga Fadan di Distrik Malabotom dan sekitarnya; PT Sorong Global Lestari Kau Stop Tipu Kami.
Suasana di balai kampung jadi gaduh. Nur Fadan mengajak semua orang berkumpul ke depan tempat pertemuan. Spanduk dan poster aksi dibentangkan. Mereka spontanitas beramai-ramai membuat pernyataan.
“Kami keluarga besar Fadan menolak dengan tegas kegiatan perkebunan sawit dan pabrik kelapa sawit di tanah adat kami. Kami tolak dengan tegas. Demikian pernyataan kami keluarga besar Fadan.”
Mama-mama berbicara saling bersahutan mengungkapkan sikap dan pandangan mereka mengenai manfaat tanah dan hutan, kritik dan penyesalan terhadap kehadiran dan janji perusahaan kelapa sawit.
“Orang Moi sudah punya bukti kehadiran perusahaan kelapa sawit yang merusak hutan dan tidak memberikan kesejahteraan,” ungkap seorang mama.
Mereka berkomentar sambung-menyambung dan saling membenarkan, menceritakan fakta dan kisah miris kehidupan Suku Moi di areal perkebunan kelapa sawit di Distrik Klamono, Sayosa, dan Moisegen, Kabupaten Sorong.
Lokasi perusahaan perkebunan sawit PT Henrison Inti Persada berada di Klamono, tidak jauh dan berbatasan wilayah pemerintahan Distrik Malabotom.
Investigasi EIA pada 2009 menemukan, saat negosiasi pembebasan lahan, terjadi tekanan dan bujuk rayu oleh staf perusahaan serta intimidasi oleh militer dan polisi. PT Henrison menjanjikan memberikan manfaat seperti rumah baru, kendaraan, dan pendidikan gratis kepada anak-anak pemilik tanah. Janji dan fakta tidak sesuai.
Beberapa waktu lampau, saya bertemu keluarga Gisim di Kampung Klawana, Distrik Klamono, salah satu pemilik tanah di lokasi PT Henrison. Kefas Gisim, pemilik tanah, menceritakan anak mereka bernama Manu Gisim saat masih berusia empat tahun, dibujuk menandatangani kontrak dengan perusahaan.
“Saya usir orang perusahaan itu keluar dari rumah,” ungkap Kefas dengan nada tinggi, sambil menunjukkan tempat kejadian di rumah tinggalnya.
Perwakilan perusahaan PT Sorong Global Lestari yang hendak bernegosiasi dengan masyarakat di Malabotom hari ini adalah orang yang sama. Orang-orang perusahaan ini sudah bekerja sejak perusahaan kayu PT Intimpura Timber menguras hasil hutan kayu dari hutan alam di daerah Klamono hingga Klayili.
Pada 2006, pemilik PT Intimpura Timber mendapatkan izin baru, izin usaha perkebunan, yang mengalihfungsikan hutan areal konsesi PT Intimpura Timber menjadi perkebunan sawit atas nama PT Henrison Inti Persada seluas 32.546 hektare. Pada 2014, perusahaan mendapatkan kembali izin usaha perkebunan atas nama PT Inti Kebun Lestari seluas 34.400 ha dan atas nama PT Inti Kebun Sawit seluas 37.000 ha.
Tanah yang Dijanjikan
Pada 2004, Departemen Pertanian di Indonesia berpendapat ada sekitar 27 juta ha wilayah hutan tidak produktif, di luar total luas lahan kering di Indonesia seluas 143,95 juta ha, yang dapat ditawarkan kepada investor untuk selanjutnya dikonversi menjadi perkebunan.
Lahan tidak produktif itu adalah wilayah hutan yang dinilai telah terdegradasi karena penebangan, pertanian, dan aktivitas perusakan hutan lain.
Argumentasi pemerintah ini menjadi dalil untuk mengakomodasi kepentingan ekspansi lahan dan konversi hutan guna bisnis minyak kelapa sawit.
Pada 2020, pemerintahan Joko Widodo mengubah dan menerbitkan kebijakan aturan seperti Undang-Undang Cipta Kerja untuk kemudahan perizinan berusaha. Pemerintah menerbitkan putusan untuk pencabutan dan evaluasi izin-izin usaha pertambangan, kehutanan dan penggunaan lahan negara, dengan dalil perbaikan tata kelola sumber daya alam agar transparan dan adil.
Dalam keterangan tertulis Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada 6 Januari 2022, izin-izin yang disalahgunakan pasti akan dicabut.
“Izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukkan dan peraturan, kita cabut,” kata Jokowi.
Pemerintah telah membentuk kebijakan Bank Tanah yang akan mengatur dan mengelola pengadaan tanah, termasuk tanah yang bersumber dari eks izin dan hak guna lain. Bank Tanah ditengarai hanya untuk mengakomodasikan kepentingan investor dan bisnis komersial.
“Indonesia terbuka bagi para investor yang kredibel, yang memiliki rekam jejak dan reputasi yang baik, serta memiliki komitmen untuk ikut menyejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam,” jelas Jokowi.
Perusahaan produsen dan perdagangan minyak kelapa sawit pun ramai membenahi kebijakan operasional. Laman website dipenuhi komitmen dan reputasi dengan daftar sertifikat dari lembaga standar perdagangan minyak kelapa sawit. Upaya dan reputasi menjadi investor “kredibel” sangat mudah dibuat di atas kertas dan laman website, demi mendapatkan tanah yang dijanjikan itu.
Di Papua Barat, pemerintah telah mengevaluasi perizinan terhadap 24 perusahaan perkebunan sawit dengan luas wilayah perizinan 576.091 ha. Ditemukan, mayoritas perusahaan memiliki pelanggaran terkait legalitas administrasi perizinan dan operasional, seperti belum menyelesaikan pembangunan kebun plasma.
Perusahaan PT Inti Kebun Lestari merupakan salah satu perusahaan yang izin usahanya dicabut Bupati Sorong pada 2021. Perusahaan menggugat putusan bupati di Pengadilan Tata Usaha Jayapura hingga kasasi Mahkamah Agung. Pengadilan tetap memenangkan Bupati Sorong.
Eks tanah PT Inti Kebun Lestari ada dalam kuasa pemerintah, apakah akan diberikan kepada masyarakat adat setempat, pemilik sebenarnya, atau menjadi objek tanah yang dijanjikan buat investor “kredibel”.
Bersolek dan ganti nama, PT Inti Kebun Lestari mengubah nama jadi PT Sorong Global Lestari. Kedua perusahaan dimiliki Ciliandry Anky Abadi Group, milik keluarga Fangiono dan First Resources, pengusaha kaya di Indonesia, yang juga punya konsesi perkebunan sawit di Kalimantan.
Tangan Besi
Pada Oktober 2022, empat belas marga asal suku Moi, pemilik lahan di areal PT Henrison Inti Persada, mempersoalkan janji-janji perusahaan, utamanya janji perusahaan memberikan kompensasi dari bagi hasil kebun plasma yang belum diterima.
Kebun plasma sebutan untuk skema yang dibuat perusahaan menjanjikan kebun sawit mereka kepada warga setempat, agar perusahaan gampang mendapatkan lahan dan subsidi pemerintah, sejak demam sawit meluas di Indonesia pada 1970-an. Sejak 2007, perusahaan diwajibkan secara hukum membagikan seperlima lahan dari tiap perkebunan yang baru dibuka kepada masyarakat petani plasma.
Investigasi The Gecko Project, baru-baru ini, menemukan skema plasma yang dirancang demi menyejahterakan rakyat Indonesia turut menikmati berkah dari demam sawit tersebut justru gagal dipenuhi perusahaan. Ratusan konflik terkait plasma meluas di Indonesia.
Pintu kantor utama dan akses jalan masuk ke pabrik dipasang “palang adat”. Palang terbuat dari potongan jenis bambu khusus dinamakan masan. Ujung bambu diikat kain merah yang diletakkan bersilangan. Dalam tradisi Suku Moi, palang adat ini pertanda ada permasalahan pelanggaran adat.
Fery Gisim bersama puluhan anggota marga Gisim, marga Klawom, dan marga Malak, berdiri di depan menyampaikan tuntutan. Namun, direktur operasional perusahaan menanggapi dengan ancaman.
“Bapak-ibu harus tahu, saya ini bukan kaleng-kaleng. Saya ini anggota khusus Kopassus,” kata Feri Gisim mengulang kembali pernyataan Togar Siahaan, Direktur Operasional PT Henrison Inti Persada, saat berunding di kantor perusahaan pada 22 Juli 2022.
“Kami hanya tuntut kami punya hak saja. Jadi bapak dong (perusahaan) harus tahu,” kata Martinus Klawom, tetap meminta perusahaan memenuhi tuntutan pembayaran kompensasi hasil kebun plasma.
Mereka bergeming dengan kalimat ancaman orang perusahaan. Perundingan hari itu tanpa hasil dan palang adat tetap berdiri.
Pada 23 Juli 2022, belasan aparat Brimob bersenjata kembali berjaga di sekitar kantor PT Henrison. Togar Siahaan meminta Fery Gisim membuka palang adat.
“Bapak tidak bisa paksa saya,” kata Fery Gisim. “Ini saya punya adat dan jati diri, bapak suruh saya buka, sama saja bapak suruh saya telanjang.”
“Jadi silakan kalau bapak dong mau buka, bapak dong buka. Tapi, bagi kami, kami tidak akan buka. Bapak juga harus tahu bahwa kami datang tidak dengan cara kasar.”
Fery Gisim lalu pergi mengendarai mobil meninggalkan kantor PT Henrison dan hendak ke Kota Sorong.
Saat di perjalanan dan istirahat buang air kecil dekat pos jaga PT Henrison, sebuah mobil revo warna hitam berkaca gelap, berhenti tepat di depan mobil tumpangan keluarga Fery Gisim. Kemudian, turun dua orang, salah seorang adalah Togar Siahaan yang menghampiri mobil tumpangan Fery Gisim.
Togar Siahaan mengeluarkan pistol dari tas dan digantung di depan tubuhnya. Semua penumpang mobil tetap awas dan memperhatikan.
Fery Gisim menirukan gerak dan ungkapan Togar Siahaan, “Kamu jangan main-main dengan saya. Kamu tahu saya ini siapa? Saya bisa perintahkan pasukan saya untuk turun cari kalian.”
Surat keterangan dari Polisi Militer Daerah Militer XVII/Kasuari Detasemen Polisi Militer XVIII/1 menyatakan, dari hasil pemeriksaan pada 6 Agustus 2022, “yang bersangkutan Direktur Operasional Bapak Togar Siahaan bukan anggota TNI Angkatan Darat.”
Fery Gisim bersama kuasa hukum melapor ke Kepolisian Resor Sorong di Aimas, pusat pemerintahan Kabupaten Sorong, atas tindakan pengancaman verbal disertai penggunaan senjata api. Belum ada kabar dari pengaduan ini dan palang adat sudah dibuka aparat Brimob.
“Kami masyarakat Moi menangis. Kami sedih. Harkat dan jati diri kami sebagai Suku Moi di tanah Moi diinjak habis-habisan di tanah Papua,” kata Mika Klin, tuan tanah di areal PT Henrison Inti Persada, mengeluhkan penegakan hukum yang tidak berpihak pada masyarakat.
Keluhan ini disampaikan kepada pejabat Bupati Sorong, Yan Piet Moso, saat berdialog bersama pejabat kepala dinas lain di Aimas Hotel, 5 Oktober 2022.
Dalam pertemuan yang sama, seorang buruh sawit PT Henrison bernama Hendrikus, menyampaikan keluhan “dipekerjakan” seperti “budak”. “Kami punya nasib, kami punya hidup ada di situ. Setiap kami kerja, kerja sampai patah tulang pun, dibayar tidak sesuai.”
Markelius Kalawom, tuan dusun, turut bicara, “Kami dari marga minta perusahaan ini dicabut izinnya. Perusahaan bermain dengan tangan besi. Kami bicara hak kami.”
Di hadapan ratusan warga, pemilik dusun dan tanah, serta buruh perusahaan, pejabat Bupati Sorong menanggapi dan meminta pengertian. “Berikan waktu kepada kami untuk mengambil langkah rapat dan mengambil langkah selanjutnya,” kata Yan Piet Moso.
Negosiasi Tanpa Kompromi
Masih suasana tegang dan dengan tangan di saku, James Simanungkalit, yang mengaku mewakili PT Sorong Global Lestari, melangkah maju ke depan menerima poster dari Nur Fadan yang berisi penolakan marga Fadan atas kegiatan sosialisasi rencana pembangunan kebun sawit dan pabrik di atas tanah adat mereka.
“Surat berupa pamflet ini sudah saya terima, akan saya sampaikan kepada pimpinan perusahaan,” kata Simanungkalit. “Tapi izinkan saya bicara, sedikit saja, tidak banyak.”
Simanungkalit menerangkan bahwa perusahaan induk Inti Kebun membeli lokasi konsesi PT Inti Kebun Lestari, yang izinnya sudah dicabut, lalu mengurus izin dan mengganti nama jadi PT Sorong Global Lestari
“Cuma lokasi [kebun sawit] bukan seluruhnya, sebagian lokasi adalah [konsesi] Inti Kebun Lestari yang lama, yang masih bisa produktif untuk dikelola. Rencana pertemuan hari ini bukan memaksa marga, perusahaan tidak akan memaksa marga untuk menyerahkan areal,” jelas Simanungkalit.
Anggota marga Fadan menceletuk pembicaraan dan saling menyela.
“Marga Fadan sudah menolak, teman marga lain jangan ada omongan lain lagi.”
“Tidak usah datang lagi.”
“Kami di Malabotom menolak.”
“Kami punya hutan untuk generasi ini, untuk anak-anak ini.”
Nur Fadan berkata, “Bapak dorang terima uang enak, tapi mereka ke depan menderita.”
Simanungkalit menyela, “Artinya begini, mohon maaf saya potong, kita tidak boleh mewakili. Masing-masing punya hak.”
“Kami Marga Simmi tolak.”
“Kami Marga Malalu juga tolak.”
Orang perusahaan terdiam.
“Ada pimpinan perusahaan, dari keamanan, dari semua, terus pemerintah, kami mohon dengan hormat, bapak dorang pulang sudah, karena barang sudah jelas, torang tra usah bicara lagi. Bapak dorang pulang sudah, bubar sudah, langsung dari sini pulang sudah. Tidak ada pertemuan. Tidak ada pembicaraan. Terima kasih,” kata Nur Fadan.
Marga Fadan, marga Simmi, marga Malalu, menyampaikan komitmen menjaga hutan, dusun dan tanah, menjaga kelestarian alam demi generasi mereka. Ini adalah komitmen yang sekarang ini semakin terdengar dari suara masyarakat adat di Tanah Papua.
Forum konsultasi publik demi studi amdal pembangunan perkebunan dan pabrik kelapa sawit PT Sorong Global Lestari di Distrik Malabotom, sebagai syarat perolehan persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha, pun bubar dan tanpa musyawarah mufakat. | Redaksi
Franky Samperante adalah Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, sebuah organisasi yang salah satu fokus kerjanya melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat adat di Tanah Papua.
Artikel ini sebelumnya telah terbit di projekmultatulis.org dengan judul ‘Kau Stop Tipu Kami’: Menjaga Masa Depan Generasi Suku Moi
0 Komentar