Jakarta | Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak TNI membatalkan operasi siaga tempur di Papua.
Ketua Centra Initiative Al Araf dari perwakilan koalisi menyebut pilihan operasi siaga tempur merupakan kebijakan yang akan terus memproduksi spiral kekerasan.
"Jika itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka koalisi mendesak agar rencana itu dibatalkan," kata Araf dalam siaran pers, Selasa (18/4/2023) malam.
Dikatakan Araf, pendekatan keamanan militeristik yang berlangsung selama ini di Papua secara langsung dan tidak langsung berdampak terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.
Beberapa kasus yang sempat mengemuka ke publik, misalnya, pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani pada tahun 2020, dan pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap empat orang warga sipil di Papua pada tahun 2022. Kemudian ada pula kasus penyiksaan terhadap tiga orang anak yang dituduh melakukan pencurian pada 2022.
Menurut Araf, selama ini praktik impunitas masih menjadi persoalan yang terus terulang dalam kekerasan yang melibatkan aparat keamanan di Papua. Untuk itu, penegakkan hukum untuk memutus mata rantai impunitas dinilai menjadi penting guna mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua.
Araf menegaskan, evaluasi pendekatan keamanan militeristik di Papua harus dimulai sesegera mungkin. Evaluasi tersebut bisa dilakukan dengan upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI di Papua.
"Selama ini, ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua," jelasnya.
Araf juga menilai, dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua memiliki banyak persoalan yang tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Araf menjelaskan, Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) oleh TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada keputusan politik negara atau keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI.
Berdasarkan penelusuran salah satu organisasi yang turut tergabung dalam koalisi, Imparsial, mencatat hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua.
"Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan ilegal," tegas dia.
Untuk diketahui, operasi siaga tempur diterapkan buntut peristiwa penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang menewaskan empat prajurit TNI Angkatan Darat di Nduga, Papua Pegunungan.
Diberitakan sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono meningkatkan status operasi TNI di Nduga menjadi siaga tempur. Hal itu menyusul serangan TPNPB terhadap 36 personel TNI di Distrik Mugi, Nduga, Papua Pegunungan, Sabtu (15/4/2023).
"Kita tetap melakukan operasi penegakan hukum dengan soft approach, dari awal saya sudah sampaikan itu, tapi tentunya dengan kondisi seperti ini, di daerah tertentu kita ubah menjadi operasi siaga tempur," kata Panglima TNI di Mimika, Papua Tengah melalui rekaman suara yang dibagikan, Selasa (18/4/2023). | Redaksi
0 Komentar